Rabu, 20 November 2019

Menelusuri Candi Di Sidoarjo, Cagar Budaya Indonesia dari Kerajaan Majapahit


Tak hanya Lumpur Lapindo, Lontong Kupang, dan Bandeng Asap, Sidoarjo ternyata juga punya wisata sejarah yang menarik untuk ditelusuri. Sedikitnya ada 10 buah situs cagar budaya berupa candi yang tersebar di segala penjuru kota penyangga Surabaya ini.

Sudah lama saya penasaran akan sejarah serta cagar budaya di Sidoarjo, dan akhirnya beberapa waktu lalu tercapai juga keinginan saya untuk sowan ke beberapa candi yang ada di kota yang memiliki ikon bandeng dan udang ini.

Karena lokasi beberapa candi terpencar-pencar di wilayah yang berbeda dengan jarak yang cukup jauh, saya pun memutuskan untuk mengunjungi 4 buah candi yang lokasinya masih berdekatan serta 1 candi yang lokasinya tak jauh dari rumah saya di daerah Sukodono. Lima candi yang saya kunjungi tersebut antara lain, Candi Medalem, Candi Pari, Candi Sumur, Candi Pamotan, dan Candi Dermo

Candi Medalem



Alamat: Medalem, RT.6/RW.1, Medalem, Kec. Tulangan, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur 61273

Berbeda dengan candi kebanyakan, bentuk Candi Medalem terbilang unik karena ukurannya yang kecil dan rendah dengan puncak candi yang rata. Di sekeliling candi terdapat selokan yang akan tergenang air jika musim hujan tiba.

Ada pendapat yang menyatakan bahwa bentuk Candi Medalem yang pendek tersebut karena bangunan yang tersisa hanya pondasi candi saja, sementara pendapat lain mengungkapkan bahwa bentuk Candi Medalem akan terlihat utuh jika penggalian dilakukan lebih dalam lagi.

Selain bentuknya yang sedikit berbeda dengan candi kebanyakan, dari segi lokasi Candi Medalem juga memiliki keunikan yaitu tepat di samping candi alias masih dalam satu pagar yang sama terdapat masjid desa yang cukup besar. Padahal kita semua tahu bahwa candi sendiri biasanya merupakan bangunan peninggalan dari kerajaan Hindu atau Budha. Mungkin inilah penggambaran bagaimana Indonesia seharusnya, di mana tiap agama dapat hidup berdampingan dengan damai.

Ada cerita menarik yang melatarbelakangi penemuan Candi Medalem di tahun 1991-1992 ini.  Konon dahulu Candi Medalem merupakan tempat pemujaan bagi masyarakat Hindu di zaman Kerajaan Majapahit namun ditinggalkan oleh masyarakatnya yang bermigrasi ke daerah Tengger karena adanya peristiwa letusan Gunung Penanggungan. Sehingga Clandi Medalem pun tak terawat dan tertutup oleh semak belukar dan pepohonan besar. Adalah Tamaji atau akrab disapa Pak Gendlang, juru kunci setempat, yang menemukan Candi Medalem berdasarkan mimpi yang beliau alami. Dalam mimpinya tersebut Pak Gendlang mengaku jika didatangi oleh Raden Ayu Pandansari yang memintanya untuk membersihkan benda-benda di bawah pepohonan dan berpesan untuk tidak merusak objek apa pun di dalamnya.

Siapa sebenarnya Raden Ayu Pandansari hingga saat ini masih jadi perdebatan karena banyaknya pendapat yang berbeda. Ada yang mengatakan beliau adalah istri Sawunggaling, sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa Raden Ayu Pandansari merupakan peri atau lelembut yang menjadi puteri kesayangan Raja Jin yang menguasai hutan. 

Candi Pari



Alamat: Jl. Purbakala, Porong, Candipari, Candipari Kulon, Candipari, Kec. Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur 61274

Di antara candi-candi lain di Sidoarjo, bisa dibilang Candi Pari adalah yang paling tersohor dan dianakemaskan karena tidak cuma areanya yang terlihat paling terawat, papan petunjuk menuju Candi Pari tersebar di segala penjuru Kota Sidoarjo. Oleh karena itu tak heran jika pengunjung Candi Pari terbilang cukup ramai dibanding candi lainnya.

Cerita dibalik dibangunnya Candi Pari sendiri berawal dari seseorang bernama Kyai Gede Penanggungan yang melakukan pertapaan bersama adiknya, Janda Ijingan. Kyai Gede Penanggungan memiliki 2 orang putri bernama Nyai Lara Walang Sangit dan Nyai Lara Walang Angin yang menikah dengan pemuda yang membuka lahan di dekat tempat tinggal Kyai Gede Penanggungan. Pemuda tersebut adalah Jaka Walang Tinunu, anak dari Janda Ijingan sekaligus suami dari Nyai Lara Walang Sangit dan Jaka Pandelegan, suami dari Nyai Lara Walang Angin.

Setelah menikah, kedua pasangan suami istri itu pun mengerjakan lahan persawahan di daerah Kedung Soko dan berhasil panen dengan hasil yang berlimpah. Kabar keberhasilan hasil panen tersebut terdengar oleh Prabu Brawijaya dari Kerajaan Majapahit yang saat itu sedang mengalami paceklik. Mereka mengirim utusan untuk meminta hasil panen yang akan diangkut menggunakan perahu.

Sebagai ucapan terima kasih, Prabu Brawijaya pun memanggil kedua pasangan tersebut ke istana untuk dinaikkan derajatnya. Di sanalah terungkap, bahwa ternyata Jaka Walang Tinunu merupakan anak dari Prabu Brawijaya dari hubungannya dengan Nyai Ijingan. Sedangkan Jaka Pandelegan dan istrinya menolak dipanggil ke istana dan memutuskan untuk moksa (menghilang tanpa jejak). Karena kekagumannya pada Jaka Pandelegan dan istri, maka Prabu Brawijaya memerintahkan untuk dibangun Candi Pari yang merupakan tempat menghilangnya Jaka Pandelegan, dan Candi Sumur yang merupakan tempat menghilangnya Nyai Lara Walang Angin.

Pada akhirnya kedua candi tersebut dibangun pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk pada tahun 1371 Masehi.

Candi Sumur



Alamat: Candipari Kulon, Candipari, Kec. Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur 61274

Candi Sumur dan Candi Pari sepertinya memang 2 hal yang sulit dipisahkan. Selain memiliki keterikatan sejarah yang sama, lokasi Candi Sumur pun hanya berjarak 50 meter saja dari Candi Pari.

Ukuran Candi Sumur hanya setengah dari Candi Pari yaitu, 8x8x10 meter dan hanya berhasil dipugar separuhnya. Di bagian atas candi terdapat sumur dangkal yang sudah kering. Meski begitu, anak tangga pada Candi Sumur amatlah curam dengan susunan yang tak beraturan. Jadi pengunjung harus berhati-hati jika hendak naik atau turun.

Candi Pamotan



Alamat: Pamotan, Porong, Pamotan, Kec. Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur 61274

Lokasi Candi Pamotan terletak tak jauh dari Candi Pari dan Candi Sumur berada. Dan sejarah berdirinya Candi Pamotan juga masih berkaitan dengan cerita Jaka Walang Tinunu dan Jaka Pandelegan karena konon dahulu Candi Pamotan adalah tempat untuk menyimpan padi sebelum dibawa menuju Kerajaan Majapahit.

Ada 2 buah candi di wilayah ini yang diberi nama Candi Pamotan 1 dan Candi Pamotan 2. Keduanya memiliki ukuran yang kecil dan rendah mirip seperti Candi Medalem.

Candi Pamotan 1 berukuran sedikit lebih besar dibanding Candi Pamotan 2 dan sudah diberi pagar serta papan nama. Di sekeliling candi terdapat selokan yang akan tergenang jika diisi air. Sedangkan Candi Pamotan 2 kondisinya sedikit memprihatinkan karena terkesan dibiarkan begitu saja di tengah hutan bambu. Jika orang yang tidak tahu, mungkin akan mengira bahwa Candi Pamotan hanyalah tumpukan bata merah biasa. Paling yang membuatnya sedikit berbeda, adanya arca tanpa kepala di puncak Candi Pamotan 2.

Candi Dermo



Alamat: Dusun Candi Santren, Desa Candi Negoro, Kecamatan Wonoayu, Candi Dermo, Candinegoro, Sidoarjo, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur 61200

Saya cukup terkejut ternyata tak jauh dari rumah saya di daerah Sukodono ada beberapa situs sejarah peninggalan Kerajaan Majapahit juga karena sepenglihatan saya selama ini nyaris tidak ada papan petunjuk yang mengarahkan menuju situs-situs tersebut.

Salah satu situs sejarah yang berada dekat rumah saya adalah Candi Dermo yang berada di Kecamatan Wonoayu.

Candi bercorak Hindu ini dibangun pada tahun 1353 di bawah kepemimpinan Adipati Terung yang makamnya sekarang berada di utara Masjid Trowulan. Candi Dermo sendiri sebenarnya adalah sebuah gapura atau pintu gerbang menuju sebuah bangunan suci yang terletak di sebelah timur candi. Sayangnya bangunan tersebut sudah roboh tak bersisa.

Ukuran Candi Dermo terbilang cukup besar dan tinggi, namun area taman yang mengelilinginya sangat sempit sehingga saya sedikit kesulitan untuk mengambil gambar candi secara utuh karena bagian depan candi langsung berhadapan dengan pohon mangga dan rumah warga.

Saat ini Candi Dermo sedang dalam tahap pemugaran sehingga pengunjung tidak bisa melihat bentuk asli bangunan karena terhalang oleh palang-palang kayu yang menutupi Candi Dermo.

Sejarah Kerajaan di Sidoarjo

Meski memiliki bentuk dan ukuran yang berbeda-beda, namun 5 candi yang saya kunjungi tersebut memiliki beberapa kesamaan, antara lain, sama-sama merupakan peninggalan Kerajaan Majapahit dan menggunakan susunan bata sebagai material utama candi sehingga candi-candi di Sidoarjo tersebut memiliki ciri khas warna kemerahan seperti candi-candi di Mojokerto. Kelima candi tersebut juga sudah ditetapkan sebagai warisan cagar budaya Indonesia  di mana salah satu kriterianya adalah sudah berusia lebih dari 50 tahun.

Sudah bukan rahasia umum lagi apabila dahulu Kerajaan Majapahit merupakan kerajaan terbesar di Indonesia dengan puncak kejayaannya berada pada pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1350-1389) berkat dukungan dari Mahapatih Gajah Mada. Tercatat dalam Nagarakertagama bahwa wilayah kekuasaan Majapahit kala itu meliputi Jawa, Bali, Sumatera, Kalimantan, hingga Indonesia bagian timur termasuk Nusa Tenggara, Sulawesi, hingga sebagian Maluku. Selain di dalam negeri, pengaruh kekuasaan Majapahit juga sampai ke Semenanjung Malaya, Tumasik, serta sebagian Thailand dan Filipina. Angkatan Laut Majapahit waktu itu sangat kuat sehingga disebut sebagai Talasokrasi atau Kemaharajaan Bahari.

Oleh karena itu tak heran jika wilayah Sidoarjo juga tak luput dari pengaruh kekuasaan Majapahit dan banyak meninggalkan situs-situs sejarah. Namun, ternyata tak cuma Kerajaan Majapahit, dahulu Sidoarjo juga pernah dikuasai oleh Kerajaan Kahuripan, Kerajaan Jenggala, dan Kerajaan Kadiri.

Kerajaan Kahuripan merupakan kerajaan di Jawa Timur yang didirikan oleh Airlangga pada tahun 1009 sebagai kelanjutan dari Kerajaan Medang yang runtuh pada tahun 1006. Ketika Airlangga naik tahta, wilayah kerajaan hanya meliputi daerah Sidoarjo dan Pasuruan saja. Namun setelah mengalami berbagai peperangan, wilayah Kahuripan pun meluas hingga Kadiri.

Ketika Airlangga akan turun tahta, 2 orang putranya saling bersaing untuk memperebutkan posisi sebagai raja. Akhirnya Airlangga memutuskan untuk membagi kerajaan menjadi 2. Bagian barat bernama Kerajaan Kadiri dengan ibukota di Daha diserahkan pada Sri Samarawijaya, sedangkan bagian timur bernama Kerajaan Jenggala yang beribukota di Kahuripan diserahkan kepada Mahapanji Gasarakan.

Setelah bertahan selama 90 tahun, menurut prasasti Ngantang (1135), Kerajaan Jenggala pun akhirnya harus takluk pada Kerajaan Kadiri di bawah pimpinan Sri Jayabhaya. Sejak saat itu Jenggala menjadi bawahan Kadiri.

Setelah itu Kerajaan Kadiri ditaklukkan oleh Singhasari pada tahun 1222, dan selanjutnya oleh Majapahit pada tahun 1293 sehingga secara otomatis Jenggala pun ikut dikuasai juga.

Namun sangat disayangkan peninggalan dari Kerajaan Kahuripan mau pun Jenggala yang berada di Sidoarjo sangat terbatas bahkan hampir tidak dikenali. Konon dahulu ada candi bernama Prada yang merupakan peninggalan Kerajaan Jenggala namun dihancurkan pada tahun 1965. Oleh karena itu, informasi mengenai Kerajaan Jenggala pun sangat minim sekali. Akibatnya generasi saat ini hanya tahu bahwa Jenggala atau Jenggolo adalah nama salah satu stadion di Kota Sidoarjo, bukan kerajaan yang pernah berjaya di Sidoarjo puluhan tahun lamanya.

Mengapa Harus Menjaga Kelestarian Cagar Budaya Indonesia?



Belajar dari Kerajaan Jenggala yang peninggalan sejarahnya sudah hampir punah tak bersisa, jangan sampai hal tersebut juga terjadi pada cagar budaya yang saat ini ada di Sidoarjo.

"Historia Magistra Vitae (Sejarah adalah guru kehidupan)", Begitulah kurang lebih yang dikatakan orator zaman Romawi Kuno Cicero.

Dalam sejarah terkandung pelajaran-pelajaran moral dan politik, dari sejarah kita dapat mengenal bangsa kita sendiri dan bangsa lain, dan sejarah juga memperkokoh identitas kita sebagai bangsa.

Bung Karno pun pernah berkata dalam pidatonya, Jangan sekali-kali melupakan sejarah karena bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat memahami sejarahnya.

Oleh karena itu kita wajib menjaga kelestarian cagar budaya Indonesia sebagai salah satu cara untuk menjaga sejarah agar bangsa Indonesia tetap dikenal sebagai bangsa yang besar.

Kelebihan dan Kekurangan Candi di Sidoarjo

Pemandangan menuju candi-candi di Sidoarjo

Dari hasil kunjungan saya ke beberapa candi di Sidoarjo, saya memiliki beberapa catatan tentang kondisi candi tersebut yang mungkin nantinya bisa menjadi evaluasi dan pertimbangan agar candi di Sidoarjo lebih baik lagi.

Pertama kita bahas dari segi positifnya dulu ya. Tentang akses menuju lokasi candi sebenarnya sudah cukup bagus. Di sepanjang perjalanan hampir semua jalan sudah diaspal, namun karena lokasinya di dalam pemukiman penduduk sehingga lebar jalannya menuju candi-candi tersebut agak sempit.

Menemukan letak candi-candi di Sidoarjo juga cukup mudah karena semuanya sudah terdaftar di google maps. Selain itu
mata kita akan dimanjakan oleh pemandangan persawahan dan pegunungan yang menyejukkan hati. Lokasi candi yang hampir semuanya berada di tengah pemukiman warga juga bisa menjadi nilai plus bagi wisatawan yang suka berbaur dengan warga lokal untuk mengenal budayanya lebih dekat.

Akan tetapi, ukuran candi yang kecil-kecil dengan letak berpencar-pencar menjadi hambatan untuk menarik wisatawan terutama bagi mereka yang kurang berminat pada sejarah atau yang tidak membawa kendaraan pribadi. Sedangkan bagi yang membawa kendaraan terutama yang beroda empat akan kesulitan dalam mencari area parkir karena lokasi candi yang berada di tengah perkampungan penduduk.

Minimnya papan penunjuk jalan menuju candi lain selain Candi Pari juga membuat para wisatawan tidak mengetahui bahwa di Sidoarjo ternyata terdapat banyak candi.

Solusi Untuk Menjaga Kelestarian Cagar Budaya di Sidoarjo

Selain dengan tidak merusak, mencoret, dan mengotori bangunan cagar budaya, tentu saja dengan membuat cagar budaya lebih dikenal lebih luas lagi dapat membuat kelestariannya terjaga karena makin dikenal orang maka cagar budaya yang ada pun tidak hanya menjadi bangunan yang terlupakan kemudian mangkrak dan hancur dengan sendirinya.

Tantangannya, target pasar alias masyarakat yang kita hadapi saat ini adalah para generasi millenial dan gen z memiliki minat rendah pada sejarah dan budaya dan lebih condong menyukai hal-hal yang berhubungan dengan dunia digital. Oleh karena itu pemerintah setempat mau pun individu yang memiliki konsen pada kelestarian cagar budaya kiranya juga melakukan pendekatan dengan cara yang digemari oleh para millenials tersebut.

Sebagai salah satu dari generasi millenial dan melihat sendiri bagaimana kondisi candi-candi di Sidoarjo menurut saya pemerintah setempat bisa melakukan cara berikut untuk menggaet pengunjung.
  • Membentuk Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) yang nantinya bekerja sama dalam merancang Desa Wisata Sejarah. Agar lebih kekinian dan tidak monoton, selain menampilkan candi sebagai ikon desa, dapat juga ditambahkan pasar kuliner tradisional dan hiburan lain bagi pengunjung seperti outbond atau pemancingan.
  • Menawarkan paket tour ke beberapa candi di Sidoarjo dengan biaya yang terjangkau dan menyediakan guide yang interaktif. Konsep tour ini terinspirasi dari tour sejarah milik House of Sampoerna di Surabaya.
  • Bekerja sama dengan komunitas fotografi atau akun jalan-jalan dan wisata di sosial media untuk mengadakan tour ke beberapa candi sekaligus hunting foto.
  • Membuat papan penunjuk jalan menuju candi sebanyak mungkin untuk meningkatkan awareness masyarakat akan keberadaan candi-candi di Sidoarjo. 

Tanggung jawab untuk menjaga kelestarian cagar budaya tentu saja bukan hanya tugas pemerintah setempat, tapi juga seluruh lapisan masyarakat termasuk saya, kamu, dan kita semua.

Untuk individu atau perseorangan, cara termudah dalam menjaga kelestarian cagar budaya adalah dengan ikut menyebarkan keberadaannya. Salah satunya adalah dengan mengunjungi situs cagar budaya, mengabadikannya dalam gambar atau video, lalu sebarkan di seluruh sosial media yang dimiliki seperti instagram, blog, mau pun youtube.


Kalau teman-teman punya ide apa untuk menjaga kelestarian cagar budaya Indonesia?

Tulisan ini diikutsertakan dalam kompetisi blog Cagar Budaya Indonesia dengan tema "Rawat atau Musnah" yang diadakan oleh Kemendikbud bekerjasama dengan IIDN. Yuk, Ikutan juga! 




1 komentar:

  1. kebanyakan candi-candi ini letaknya di tengah pemukiman warga ya, kalau sudah begitu setidaknya generasi penerus bangsa ini paham sejarah bangsanya ... semoga.

    Apalagi di google maps sudqh jelas tertera, semoga bisa tetap terjaga selamanya hingga ke generasi selanjutnya.

    BalasHapus

Hai, terimakasih sudah berkunjung. Komentar saya moderasi ya, capek cyiin ngehapusin komentar spam :D

Kalau ada pertanyaan, silahkan kirim email ke MeriskaPW@gmail.com atau Direct Message ke instagram @MeriskaPW, sekalian follow juga boleh :p