Saya pun coba untuk menghitung jeda waktu perut saya terasa kencang dengan timer di hp, dan bener aja kontraksinya sudah teratur tiap 5-10 menit sekali.
Baca juga: Cerita Kelahiran Kamayel Part 1
Langsung hubungi pak suami untuk mengabari kalau kayaknya saya sudah merasakan kontraksi beneran. Pak suami pun segera mengabari Bidan Dewi. Kemudian Bidan Dewi menginstruksikan untuk download aplikasi contraction timer dan meminta untuk mengirimkan foto form jihad yang sudah diisi serta hasil laboratorium.
Hasil dari aplikasi contraction timer, kemungkinan waktu persalinan saya sudah dekat dan disarankan segera ke fasilitas kesehatan.
Masalahnyaaa, suami lagi survey lapangan di tengah sawah. Gak bisa pulang dengan segera karena harus nunggu mobil jemputan. Mobil jemputan ini gak cuma menjemput pak suami tapi juga teman-teman kantornya yang sedang survey di lokasi berbeda. Setelah dijemput dari lokasi survey, mereka akan diantarkan ke kantor setempat dulu untuk kemudian pindah mobil lain dan bertolak menuju kantor suami di Surabaya. Dari Surabaya baru deh suami pulang ke rumah nyetir mobilnya sendiri. Sueerr, bikin sewot banget karena kontraksi makin sakit sedangkan masih harus ngurus lalilulelo sendiri di rumah.
Padahal dinasnya cuma di Mojokerto aja, kota sebelahnya Sidoarjo, tapi perjalanan pulangnya butuh waktu hampir 3 jam sendiri. Saya udah siap-siap segala macem, pak suami baru sampai rumah menjelang magrib. Untung aja saya inisiatif delivery makan dulu, biar sempat makan sebelum berjuang saat persalinan nanti. Awalnya berniat mau nitip ke suami sekalian pulang, dipikir-pikir malah bikin makin lama.
Nunggu suami pulang, muka udah jutek nahan nyeri kontraksi |
Ba'da magrib kami berangkat ke Bidan Wina, tapi mampir dulu ke Indomaret untuk beli minum dan bekal untuk anak-anak karena lokasi kliniknya Bidan Wina agak jauh dari minimarket.
Urusan beli bekal ke Indomaret aja bikin saya makin senewen. Suami super duper lama, pakai lihat-lihat dulu mau beli apa, terus bayarnya pakai gesek debit di mana ternyata mesinnya rada eror jadi prosesnya lama. Level senewen saya udah maksimal banget ditambah Nayla yang drama rewel gak jelas. Isinya udah ngamuk-ngamuk mulu sampai saya klakson berkali-kali tuh dari mobil, haha.
Sampai Bidan Wina, saya harus menunggu beberapa saat karena sedang ada pasien juga. Kemudian saya diperiksa oleh asisten bidan kalau gak salah namanya Bidan Riska. Kayaknya Bidan Wina sedang tidak di tempat.
Di ruangan periksa, Bidan Riska memeriksa jeda kontraksi lagi. Nah, kontraksi kali ini rada unik. Jadi kalau saya diam tiduran atau duduk di posisi yang sama maka kontraksi akan lama sekali datangnya, tapi begitu saya pindah posisi kontraksinya akan langsung datang. Apalagi kalau dipakai berjalan, haduuhh perut rasanya mau ambrol dan pengen jongkok aja.
Karena saat diperiksa manual, jeda kontraksinya terlihat masih lama, Bidan Riska pun menyarankan saya untuk pulang aja karena sepertinya masih bukaan 1.
Tapi ya mohon maaf, saya kan udah mau lahiran ke 3 kalinya jadi sudah cukup tau dengan kondisi diri sendiri *sombong*. Dulu saat akan melahirkan Nayla pun jeda kontraksinya konsisten tiap 5 menit sekali sampai bukaan lengkap, gak mengalami percepatan seiring bertambahnya bukaan. Oleh karena itu, berdasarkan pengalaman tersebut, saya pun meminta periksa dalam aja.
Awalnya Bidan Riska menolak karena risiko kerusakan rahim atau apalah saya lupa penjelasan detailnya kalau terlalu sering diperiksa. Tapi kan periksa dalam udah wajar banget ya di mana-mana untuk orang yang akan menghadapi persalinan?
Saya maklum, sih, karena mereka kan mengusahakan gentle birth di mana supaya pasien minim trauma dan rasa sakit. Cuma ya maaf saja, saya udah senewen dari tadi, gak usah gentle-gentle-an gak apa-apaaaa, heuheu.
Dan bener ajaaa, pembukaannya sudah mau masuk bukaan 5. Setelah periksa dalam, Hb saya dicek kembali menggunakan alat rapid test tapi ini beda ya sama rapid testnya coronces. Setelah itu Bidan Riska dan Bidan Dewi seperti sibuk berdiskusi serta mengirim chat ke Bidan Wina. Saya pun diminta menunggu di ruangan periksa cukup lama sampai akhirnya Bidan Wina datang.
Ternyata yang jadi masalah adalah hasil tes laboratorium menunjukkan bahwa kadar Hb saya cuma 7 dan itu termasuk rendah. Peraturan yang berlaku, ibu hamil dengan kadar Hb di bawah 7 harus melakukan persalinan di bawah pengawasan dokter karena berpotensi mengalami pendarahan.
Hasil rapid test Hb sebenarnya menunjukkan angka 11,5 dan udah mendekati angka normal yakni 12. Tapi Bidan Wina kurang percaya dengan hasilnya karena akurasi rapid test ini gak sama dengan tes laboratorium. Selain itu beliau melihat wajah saya cenderung pucat jadi lebih percaya kalau kadar Hb saya cuma 7. Bidan Wina menyarankan kami segera menuju rumah sakit terdekat mumpung belum bukaan lengkap.
Langsung puyeng deh mikirin perjalanan ke rumah sakit, nasib anak-anak gimana, belum lagi harus melewati berbagai prosedur pastinya. Saya pun ngotot meminta untuk bersalin di Klinik Bidan Wina karena saya yakin baik-baik saja *pede banget*. Memang saat tes laboratorium, kondisi saya kurang fit pada saat itu. Kurang tidur dan lagi malas makan jadi mungkin itu penyebab Hb saya rendah.
Setelah negosiasi yang panjang, akhirnya Bidan Wina mengijinkan saya bersalin di kliniknya tapi Pak Suami harus menandatangani surat pernyataan. Di sini saya harus berterimakasih pada Bidan Rina di Malang karena ternyata beliau yang merekomendasikan saya untuk tetap bisa melakukan persalinan di Bidan Wina.
Lagi nunggu giliran diperiksa |
Singkat cerita, saya pun akhirnya bisa masuk kamar. Kami memutuskan memilih kamar tipe VIP karena selain kamar mandi dalam, ada sofa bed cukup luas untuk anak-anak menunggu selama proses persalinan.
Lampu kamar dimatikan karena katanya bisa merangsang pembukaan lebih cepat, kemudian Bidan Dewi menyalakan diffuser yang sudah diisi essentials oil Lavender tapi zuzur saya gak nyium wangi apa-apa selain rempah yang samar. Efek kamarnya terlalu luas apa ya?
Untuk mengantisipasi jika terjadi pendarahan saat persalinan nanti, tangan saya dipasang jarum infus supaya kalau ada apa-apa bisa lebih cepat memasang selang infusnya. Ternyata jarum infus itu sakit ya, bookkk? Mana jarumnya gede banget pula, bayangin deh gimana kasihannya anak-anak kita saat diinfus.
Btw, saya sudah pasrah dan berserah diri aja kalau terjadi sesuatu. Berharap diberi yang terbaik. Fokus saya cuma pengen ndang brojol biar lega, haha.
Di dalam kamar, ada satu asisten bidan (gak tau namanya bidan siapa) yang mendampingi serta telaten memberi pijatan accu pressure di area kaki saya. Selain itu bidan tersebut juga membawa alat semacam lampu ultra violet atau apa lah gak tau yang katanya juga bisa memicu kontraksi. Ada 2 jenis jus yaitu jus kurma dan jus kiwi yang dipercaya dapat menambah energi selama persalinan.
Awalnya kondisi di ruangan rada chaos karena Nayla rewel sehingga suami gak bisa fokus mendampingi saya. Untungnya menjelang pembukaan lengkap, Nayla akhirnya tidur juga.
Mungkin karena sudah malam ditambah hari sebelumnya kurang tidur, setelah kontraksi datang saya merasa lemas dan mengantuk. Selain itu, makin menuju pembukaan lengkap rasa sakit saat kontraksi makin tak terkira. Kayaknya ini kontraksi tersakit yang pernah saya rasakan. Perut bagian bawah rasanya kayak mau meledak tiap kontraksi datang.
Selama menunggu pembukaan, asisten bidan yang nungguin gak pernah cek dalam. Bolak balik saya tanya, kapan ini pembukaan lengkapnya. Beliau hanya menjawab, kalau ada darah keluar dan rasa ingin mengejan gitu. Rasa pengen mengejan sih udah dari tadi, tapi kalau keluar darah, persalinan yang sudah-sudah juga saya gak pernah keluar flek atau darah sampai pembukaan lengkap.
Dah lah ya, kalau mau baca cerita gentle birth yang damai, tenang, dan nyaman itu baca pengalamannya Andien Aisyah aja, jangan baca pengalaman saya. Providernya sih boleh gentle birth, tapi pasiennya modelan kayak saya yang gak sabaran ini, ya bhay aja itu semua teori hypnobirthing, hahaha.
Untuk mempercepat pembukaan lagi, area vagina saya dikompres air hangat. Dan setelah itu rasa kontraksinya makin huwow. Saya sudah teriak-teriak kesakitan sampai ngeremes tangan suami sekuat tenaga. Rasa ingin mengejan pun makin kuat, saya bisa ngerasain kepala bayi udah di bawah banget, tapiiii, ketuban gak pecah-pecah. Persis banget kayak waktu lahirannya Alif dulu.
Karena udah tau bagaimana sulitnya melahirkan bayi dengan plasenta yang masih menutupi tuh, saya gak mau buang waktu lagi. Langsung minta dipecah aja udah ketubannya. Awalnya assisten bidan masih coba merayu untuk tetap mencoba melahirkan dengan plasenta yang masih terbungkus. Gentle birth, Broo, persalinan minim intervensi medis tapi Meriska merusak semuanya, hahaha.
Saya udah lemes banget dan kesakitan pol, jadi saya tetep ngotot minta untuk dipecahin aja udah ketubannya. Pengen ndang mari ndang uwis, Ya Allah.
Akhirnya Bidan Wina datang, sambil ngomong "katanya mau lahiran di sini, tapi kok minta ketuban dipecahin?". Ini bercanda gitu ya guys nadanya. Saya diem aja kayaknya, fokus dengan rasa kesakitanku ini, halah.
Setelah ketuban dipecahkan, rasa mengejan makin kuat. Awalnya saya mengejan sekuat tenaga tapi ternyata bayinya gak semudah itu juga keluar. Lalu Bidan Wina minta saya untuk batuk-batuk aja, dan plung! (Eh kok kayak boker ya? Heuheu), keluar juga bayinya. Dan ternyata terlilit tali pusar satu kali. Saya langsung melakukan IMD sambil menunggu tindakan berikutnya selesai.
Setelah mengeluarkan plasenta, Bidan Dewi sesekali menekan perut bagian bawah sambil berdiskusi dengan Bidan Wina. Kayaknya untuk memastikan terjadi pendarahan atau tidak. Dan Alhamdulillah, Gaes, saya baik-baik saja, huhuhu.
Setelah itu Bidan Wina mengecek robekan, dan ternyata ada robekan tapi gak sebanyak persalinan sebelumnya yang sampai 6-7 jahitan. Kali ini kayaknya cuma sekitar 1-2 jahitan aja. Kalau gak salah ingat saya juga diberi obat penambah darah saat itu. Jarum infus masih tetap terpasang hingga keesokan harinya untuk jaga-jaga kalau ada apa-apa.
Setelah tindakan selesai, badan saya dibersihkan oleh bidan mengunakan lap air hangat. Saya berganti baju, pakai pembalut, dan lain-lain di tempat tidur. Kama juga dibersihkan seadanya, diberi baju dan pospak dengan kondisi ari-ari masih terhubung alias belum dipotong atau istilah medisnya delayed cord clamping.
Ari-ari gak langsung diputus karena konon sampai beberapa waktu masih menyalurkan sari makanan. Setahu saya belum ada bukti ilmiahnya, sih. Cuma ya udah saya gak masalah karena nunda motong ari-arinya cuma sebentar, gak kayak artis-artis yang sampai berhari-hari nunggu puput sendiri itu.
Masalahnya, dulu jaman lahiran Alif dan Nayla nunda motong ari-arinya paling lama sekitar 30 sampai 1 jam aja. Baru kali ini sampai berjam-jam alias keesokan harinya.
Kalau gak salah ingat ari-arinya dibungkus underpad. Kemudian kami ditinggal oleh para bidan untuk beristirahat.
Apalah daya, niat hati udah pengen tidur tapi ternyata si bayi malah nangis kenceng sepanjang malam dan saya kesulitan untuk mengangkat bayinya dengan kondisi ari-ari masih menempel dan tangan kanan dipasang jarum infus. Untungnya, pak suami udah lebih mudah dibanguninnya. Beda dengan anak-anak sebelumnya yang kalau udah tidur, mau bumi berguncang pun gak bakal bangun.
Oh iya, si bayi kami beri nama Kamayel Thabrani dan dipanggil Kama.
Kapan-kapan bakal saya review tentang pengalaman melahirkan di Papilio Natural Birth Centre milik Bidan Wina. Doakan gak males, yaa! Haha. Kalau gak sabar, review singkatnya udah pernah tayang di Tiktok saya, @Meriskapw3 atau Instagram @Meriskapw (Promosi :D).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Hai, terimakasih sudah berkunjung. Komentar saya moderasi ya, capek cyiin ngehapusin komentar spam :D
Kalau ada pertanyaan, silahkan kirim email ke MeriskaPW@gmail.com atau Direct Message ke instagram @MeriskaPW, sekalian follow juga boleh :p