Minggu, 02 Desember 2018

Satu Jam di Pakualaman, Wonderful Indonesia yang Terlupakan


Paket lengkap, begitulah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan Yogyakarta menurut saya. Apa pun bisa kita dapatkan di Yogya, kuliner yang menggugah selera, alam yang indah, surga belanja, hingga wisata sejarah dan budaya. Rasanya gak akan cukup waktu seminggu untuk menjelajahi semua sudut salah satu wonderful Indonesia ini. Tapi bagaimana kalau kita hanya punya waktu yang terbatas saat ke Yogya?

Minggu lalu saya dan keluarga baru saja pulang dari Yogya, bukan murni untuk liburan melainkan suami ada urusan kerja. Karena jadwal kerja suami dari pagi hingga malam hari, praktis satu-satunya waktu luang yang kami punya adalah ketika hari kepulangan. Itu pun suami masih harus kerja hingga siang hari. Kebetulan jadwal keberangkatan kereta kami masih jam 6 sore sehingga kami pun memanfaatkan waktu yang ada untuk berjalan-jalan di sekitar Pura Pakualaman.

Ada yang belum tahu Pura Pakualaman?

Jika membicarakan istana di Yogya, pikiran kita mungkin akan langsung mengarah ke Keraton Yogyakarta dengan Sri Sultan Hamengku Buwono sebagai pimpinannya. Namun sebenarnya Yogya juga punya istana lain yang jarang terekspos yaitu Pura Pakualaman.

Pura Pakualaman merupakan kerajaan termuda dalam dinasti kerajaan Mataram Islam dengan Paku Alam I sebagai pemimpin pertamanya yang juga merupakan putra dari Sri Sultan Hamengku Buwono I. Saya sendiri tak sengaja mengetahui keberadaan Pura Pakualaman saat menginap di hotel yang berada tak jauh dari Pakualaman saat berlibur ke Yogya 2 tahun lalu.

Pura Pakualaman 2 tahun lalu

Meskipun tidak semegah dan sebesar Keraton Yogyakarta, akan tetapi Pakualaman tetap menarik untuk dikunjungi. Justru karena jarang terekspos oleh wisatawan, di sini kita bisa merasakan sisi Yogya yang damai dan sarat sejarah serta budaya.

Rujak Es Krim Pak Nardi


Rujak es krim yang merupakan kuliner khas Pakualaman ini menjadi jujugan pertama kami karena hanya buka sampai jam 3 sore. Ada banyak penjual rujak es krim di sekitar Pakualaman tapi konon rujak es krim yang pertama ada adalah milik pak Nardi yang telah berjualan sejak 1978.

Lapaknya sangat sederhana, hanya gerobak kecil yang ditutupi terpal sebagai atap dan beberapa kursi plastik untuk pengunjung. Tapi jangan salah, pembelinya banyak orang-orang bermobil.


Es krimnya hanya ada satu rasa yaitu original dengan warna merah muda. Teksturnya lembut, rasanya gak terlalu manis dan yang paling penting gak membuat serik di tenggorokan. Sedangkan rujaknya merupakan rujak serut dengan cita rasa manis, sedikit asam, dan gak terlalu pedas. Kalau mau lebih pedas lagi bisa menambahkan saus rujak yang sudah disediakan dalam wadah. Perpaduan rujak serut yang renyah dengan es krim yang lembut membuat sensasi yang menyenangkan di mulut.

Jamu Ginggang



Dari rujak es krim pak Nardi, kami berjalan kaki sedikit sejauh 50 meter untuk menikmati jamu di kedai yang sudah berusia puluhan tahun, Jamu Ginggang.

Menurut pajangan yang saya lihat di dinding kedai, Jamu Ginggang ini sudah ada sejak tahun 1950. Konon katanya pemilik awalnya adalah seorang abdi dalem Pura Pakualaman. Dan sekarang penerus kedai adalah generasi ke lima.

Ada banyak sekali varian jamu yang bisa dipesan di sini, dari beras kencur, kunyit asam, temulawak, sampai jamu yang mungkin asing di telinga. Sebagai peminum jamu kelas pemula, kami memilih jamu yang aman-aman saja, beras kencur biasa. Kalau mau yang lebih strong, ada varian beras kencur keras.


Beras kencurnya sih gak beda jauh dengan yang dijual di tempat lain, bedanya di sini ampasnya gak terlalu banyak. Selain itu yang jadi favorit saya sebagai penyuka hal berbau vintage di Jamu Ginggang adalah suasananya. Perabotan dan arsitektur kuno yang masih dipertahankan di Jamu Ginggang membuat saya betah berlama-lama di sini, sayang waktu kami sangat terbatas jadi harus segera pergi ke tujuan berikutnya.

Masjid Besar Pakualaman



Pas sekali, begitu keluar dari Jamu Ginggang bertepatan dengan bunyi adzan ashar. Kami pun mampir ke Masjid Besar Pakualaman yang merupakan salah satu bangunan cagar budaya Yogyakarta.

Konon masjid ini dibangun oleh Paku Alam II pada abad XIX. Meskipun sudah berusia tua, namun bangunannya sangat terawat dan masih berdiri kokoh. Di sini kita bisa melihat semua elemen masyarakat beribadah bersama dari tukang becak, pedagang, wisatawan, orang kantoran, anak-anak hingga warga sekitar. Menggambarkan sebenar-benarnya sisi wonderful Indonesia yang menjunjung tepo seliro.

Pura Pakualaman



Perjalanan kami sore itu ditutup dengan destinasi utama, sang primadona Pura Pakualaman yang sayangnya saat kami datang hujan turun lumayan deras sehingga kami tak bisa lebih banyak menjelajahi sudut-sudut istana.

Untuk memasuki area Pura Pakualaman, pengunjung tidak dipungut biaya. Cukup mengisi buku tamu di gerbang masuk. Meski di dinding gerbang dipasang larangan menggunakan sandal saat memasuki area Pakualaman, akan tetapi 2 kali kami ke sana suami selalu memakai sandal dan tak pernah dilarang masuk oleh penjaga istana.

Begitu masuk ke area Pakualaman kita bisa melihat hampir seluruh bangunan yang dibuat mengelilingi jalan beraspal dan taman yang berada di tengah sehingga tak butuh waktu lama untuk kita menjelajahi semua bagian istana. Bangunan yang berada di dalam Pura Pakualaman sendiri terdiri dari gerbang utama (Regol Danawara), taman, pendapa (Bangsal Sewatama), Ndalem Ageng Prabasuyasa, Bangsal Purwaretna, Bangsal Parangkarsa, Gedhong Maerakaca, halaman belakang, blumbangan, pagar tembok penyekat halaman, dan kestalan. Masjid serta alun-alun kecil yang berada di selatan istana termasuk dalam wilayah Pura Pakualaman.


Hampir semua bangunan di dalam Pura Pakualaman tak boleh dimasukki oleh pengunjung kecuali museum Pakualaman yang hanya buka sampai pukul 14.30 WIB saja.

Areanya yang tak terlalu luas membuat waktu satu jam saja cukup bagi kami untuk berjalan-jalan di kampung Pakualaman. Meski begitu banyak hal berkesan yang kami dapatkan di sini. Uniknya rujak es krim pak Nardi, segarnya es beras kencur Jamu Ginggang, masjid besar Pakualaman yang hangat, Pura Pakualaman yang tenang, serta gang-gang kampung Pakualaman yang bersahaja. Di sini lah kami menemukan sisi lain Wonderful Indonesia yang terlupakan namun tetap menyimpan pesona.



Teman-teman punya cerita menarik juga tentang betapa Wonderful Indonesia? Jangan cuma di simpan saja, yuk ikutan kompetisi menulis blog tentang Wonderful Indonesia. Ketentuan dan apa saja hadiahnya bisa dilihat dalam gambar berikut. Setelah selesai jangan lupa isi form ini ya.




7 komentar:

  1. Rujak es krimnya ngingetin temenku yg juga asli Jogja, dia buka usaha itu lapaknya di Sidoarjo. Dulu keliling sih, enak emang unik. Rujak gobet gt dikasih toping es puter.

    Kalo di sana rujak esgrimnya apa gitu juga?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya es puter alias es tung tung mbak.. Waah di Sidoarjo ada ya? Di mana mbak jualannya?

      Hapus
  2. Nggak boleh pakai sandal, tapi kalau pakai sepatu boleh ya? Kali aja besok-besok penjaganya ketat.

    BalasHapus
  3. Pengen es rujaknya ih, nyoba bikin sendiri ah :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku biasanya juga bikin sendiri pakai es krim cup 😂

      Hapus
  4. Dduuuuuh hasemb jeung aku jd pingin ngejogjaaaa
    Aaaaaa

    Itu es krim pak nardi pas you igs takkirain kelapa muda, tp kaget, lapaknya sederhana punya ya,

    Jamu ginggang arsitekturnya rumahan banget khas rumah nenek #eh

    BalasHapus

Hai, terimakasih sudah berkunjung. Komentar saya moderasi ya, capek cyiin ngehapusin komentar spam :D

Kalau ada pertanyaan, silahkan kirim email ke MeriskaPW@gmail.com atau Direct Message ke instagram @MeriskaPW, sekalian follow juga boleh :p